Peran
gender dalam mitigasi sebagai upaya pengurangan risiko bencana masih kurang,
karena masih adanya pertimpangan struktur sosial dalam masyarakat. Padahal,
peran gender dalam hal ini memiliki dampak yang vital, mengingat korban dari
berbagai bentuk bencana justru banyak kalangan anak-anak dan perempuan. Selain
itu keterlibatan gender yang minim dalam upaya pengurangan risiko bencana
mengakibatkan kurangnya penanganan terhadap masalah yang timbul di kalangan perempuan
saat terjadi bencana.
Dalam
masa prabencana, misalnya, sosialisasi langsung yang dilakukan cenderung hanya
melibatkan laki-laki. Perempuan menjadi orang kesekian dalam urutan penerimaan
informasi, sehingga informasi yang diperoleh terbatas. Peristiwa ini juga
terjadi dalam penanggulangan bencana. Terbatasnya partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan saat penanggulangan bencana mengakibatkan fasilitas
kebutuhan perempuan menjadi kurang memadai. Selain itu dalam penanggulangan
bencana, laki-laki cenderung menfasilitasi hal-hal bersifat umum seperti
logistik, beras, dan makanan. Padahal, perempuan secara biologis yang
seharusnya juga diperhatikan.
Kurangnya
perhatian menyebabkan ketersediaan kebutuhan perempuan seperti pembalut dan
pakaian dalam sangat minim. Kondisi itu menyebabkan perempuan tidak nyaman. Hal
tersebut menunjukkan konsep yang dibuat oleh laki-laki dalam penaggulangan
bencana cenderung kurang nyaman bagi perempuan. Oleh karena itu, perlu ada upaya
meningkatkan partisipasi dan peran serta perempuan dalam mitigasi bencana.
Kesetaraan
gender terhadap pembagian peran laki-laki dan perempuan (siapa, apa, kapan
melakukan apa), peluang dan penguasaan (akses dan kontrol), penerima manfaat
terhadap sumber daya, partisipasi dalam lembaga formal dan non formal (siapa
yang terlibat), pola pengambilan keputusan dan pemenuhan hak-hak dasar
(pendidikan, pekerjaan, dll). Kondisi ini sesuai dengan pernyataan: tiap
manusia dilahirkan dengan hak yang sama baik laki-laki maupun perempuan, dan
untuk melindungi pemenuhan hak tersebut diterbitkanlah UU No.7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Pengorganisasian yang di pelopori oleh
perempuan sangat bermanfaat untuk kepentingan mengurangi resiko bencana. Mereka
lebih sering berada di rumah dan keberadaannya hampir selalu ada di lingkungan
sekitar wilayah bencana, menyebabkan penyebaran informasi melalui perempuan
sangat efektif, sehingga tinggal bagaimana informasi yang di sampaikan itu
harus akurat dan tepat.
Melalui peningkatan kapasitas
perempuan terhadap kesiagaan bencana yang bermuatan local wisdom (kearifan
lokal) diharapkan akan mengurangi jumlah korban saat bencana datang. Dari sisi
lain, peningkatan keterampilan yang menyangkut kesiagaan dalam menghadapi
bencana dapat dilakukan melalui pembentukan “Komunal Perempuan Siaga Bencana”
(KPSB), yang akan sangat bermanfaat bagi kaum perempuan untuk mengatasi berkurangnya
korban saat bencana.
Bila perlu KPSB ini dibentuk di
setiap desa bahkan dusun untuk kepentingan saling berkoordinasi sebelum, saat
bencana datang maupun setelah bencana. Komunal ini juga menjadi media “perempuan siaga bencana” untuk
saling berdiskusi dan saling bercerita sesamanya. Dalam wadah inilah perempuan
saling membagi pengalaman dan pengetahuan menyangkut siaga bencana. KPSB juga
bisa dibentuk sebagai wadah pendidikan non-formal kesiagaan bencana yang dapat
menggunakan berbagai pola seperti arisan yang sering dilakoni oleh perempuan di
gampong — gampong. Pola ini dapat berfungsi sebagai media konsolidasi
untuk mendiskusikan pentingnya memahami pengurangan resiko bencana. Salah satu
upaya penting yang harus dilakukan melalui terbentuknya komunitas ini adalah
melibatkan perempuan secara langsung ke dalam simulasi bencana. KPSB dapat
menjadi sarana efektif untuk memasifkan agenda simulasi-simulasi bencana yang
melibatkan perempuan dan anak.
Dalam pengambilan kebijakan dan
strategi penanggulangan bencana, KPSB dapat dijadikan sebagai wadah maupun
media perempuan dalam melakukan penanggulangan bencana. Karena hal-hal yang
sangat dibutuhkan oleh perempuan saat bencana terjadi hanya perempuanlah yang
paling tahu, dalam menentukan kebutuhannya.
Dengan terbentuknya KPSB tersebut
dipastikan akan berdampak positif dalam mengurangi jatuhnya korban saat
bencana, karena masyarakat sudah mendapatkan pendidikan dasar standar
penyelamatan saat bencana terjadi. KPSB tersebut bisa terus dilakukan tanpa
harus membutuhkan dana besar, pemerintah hanya memfasilitasi sumberdaya yang
memiliki fungsi transfer ilmu pengetahuan menyangkut mitigasi bencana kepada
putra-putri komunal tersebut. Manfaat lain yang diperoleh adalah dapat
membuat mekanisme dan rute penyelamatan saat bencana tiba dan pencegahannya,
KPSB kemudian bisa juga berfungsi sebagai alat untuk menanamkan
nilai-nilai pada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan seperti
mengurangi pemakaian alat-alat yang berakibat pada pemanasan global, menjaga
kebersihan alam sekitar dan juga kesadaran untuk melestarikan alam baik melalui
kesadaran menanam pohon maupun menjaga keseimbangan alam. Nilai-nilai local wisdom
inilah yang harus ditanam dalam jiwa masyarakat Aceh dan Indonesia pada
umumnya. Bencana bukan hanya mengancam penduduk pesisir yang dekat laut, namun
juga mengancam penduduk yang berada di pegunungan saat terjadi perambahan
hutan. Seperti peristiwa di Blang pandak, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie
satu tahun lalu. Banjir bandang yang melanda Kecamatan yang dikenal subur ini
telah memporak-porandakan beberapa desa dengan kerugian material miliaran
rupiah, bahkan memakan korban jiwa, menghilangkan lapangan pekerjaan dan
menghancurkan tempat tinggal.
Didalam komunal tersebut, banyak
manfaat yang dapat didiskusikan, baik menyangkut bencana, kesehatan ibu dan
anak serta berbagai hal lainnya. Wadah ini juga dapat menjadi media
silaturrahmi antar warga yang akhirnya menciptakan ketentraman di desa
tersebut.
Peran Komunal Perempuan Siaga
Bencana (KPSB) menjadi wadah konsolidasi perempuan untuk
mendapatkan pendidikan dasar siaga bencana yang dikemas dalam “Indigenous
Knowledge” (pengetahuan lokal) apa yang harus di lakukan saat bencana tiba. Melalui
pola arisan misalnya, KPSB dapat menciptakan pengetahuan lokal untuk
mencegah jatuhnya korban saat bencana. Hal ini terbukti di Kabupaten Simeuleu,
hanya korban sebanyak 7 orang saat tsunami melanda Aceh, karena di
tengah-tengah masyarakat simeuleu sudah ada pengetahuan lokal menyangkut dengan
kesiagaan bencana. Sosialisasi bencana juga dapat dilakukan melalui kebiasaan
yang kemudian berkembang menjadi tradisi/ budaya di tengah masyarakat untuk
bercerita kepada anaknya melalui hikayat atau cerita rakyat.