Selasa, 24 Januari 2012

Peran Gender dalam PRB


 Peran gender dalam mitigasi sebagai upaya pengurangan risiko bencana masih kurang, karena masih adanya pertimpangan struktur sosial dalam masyarakat. Padahal, peran gender dalam hal ini memiliki dampak yang vital, mengingat korban dari berbagai bentuk bencana justru banyak kalangan anak-anak dan perempuan. Selain itu keterlibatan gender yang minim dalam upaya pengurangan risiko bencana mengakibatkan kurangnya penanganan terhadap masalah yang timbul di kalangan perempuan saat terjadi bencana.
Dalam masa prabencana, misalnya, sosialisasi langsung yang dilakukan cenderung hanya melibatkan laki-laki. Perempuan menjadi orang kesekian dalam urutan penerimaan informasi, sehingga informasi yang diperoleh terbatas. Peristiwa ini juga terjadi dalam penanggulangan bencana. Terbatasnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan saat penanggulangan bencana mengakibatkan fasilitas kebutuhan perempuan menjadi kurang memadai. Selain itu dalam penanggulangan bencana, laki-laki cenderung menfasilitasi hal-hal bersifat umum seperti logistik, beras, dan makanan. Padahal, perempuan secara biologis yang seharusnya juga diperhatikan.
Kurangnya perhatian menyebabkan ketersediaan kebutuhan perempuan seperti pembalut dan pakaian dalam sangat minim. Kondisi itu menyebabkan perempuan tidak nyaman. Hal tersebut menunjukkan konsep yang dibuat oleh laki-laki dalam penaggulangan bencana cenderung kurang nyaman bagi perempuan. Oleh karena itu, perlu ada upaya meningkatkan partisipasi dan peran serta perempuan dalam mitigasi bencana.
Kesetaraan gender terhadap pembagian peran laki-laki dan perempuan (siapa, apa, kapan melakukan apa), peluang dan penguasaan (akses dan kontrol), penerima manfaat terhadap sumber daya, partisipasi dalam lembaga formal dan non formal (siapa yang terlibat), pola pengambilan keputusan dan pemenuhan hak-hak dasar (pendidikan, pekerjaan, dll). Kondisi ini sesuai dengan pernyataan: tiap manusia dilahirkan dengan hak yang sama baik laki-laki maupun perempuan, dan untuk melindungi pemenuhan hak tersebut diterbitkanlah UU No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
 Pengorganisasian yang di pelopori oleh perempuan sangat bermanfaat untuk kepentingan mengurangi resiko bencana. Mereka lebih sering berada di rumah dan keberadaannya hampir selalu ada di lingkungan sekitar wilayah bencana, menyebabkan penyebaran informasi melalui perempuan sangat efektif, sehingga tinggal bagaimana informasi yang di sampaikan itu harus akurat dan tepat.
Melalui peningkatan kapasitas perempuan terhadap kesiagaan bencana yang bermuatan local wisdom (kearifan lokal) diharapkan akan mengurangi jumlah korban saat bencana datang. Dari sisi lain, peningkatan keterampilan yang menyangkut kesiagaan dalam menghadapi bencana dapat dilakukan melalui pembentukan “Komunal Perempuan Siaga Bencana” (KPSB), yang akan sangat bermanfaat bagi kaum perempuan untuk mengatasi berkurangnya korban saat bencana.
Bila perlu KPSB ini dibentuk di setiap desa bahkan dusun untuk kepentingan saling berkoordinasi sebelum, saat bencana datang maupun setelah bencana. Komunal ini juga  menjadi media “perempuan siaga bencana” untuk saling berdiskusi dan saling bercerita sesamanya. Dalam wadah inilah perempuan saling membagi pengalaman dan pengetahuan menyangkut siaga bencana. KPSB juga bisa dibentuk sebagai wadah pendidikan non-formal kesiagaan bencana yang dapat menggunakan berbagai pola seperti arisan yang sering dilakoni oleh perempuan di gampong — gampong. Pola ini dapat berfungsi sebagai media  konsolidasi untuk mendiskusikan pentingnya memahami pengurangan resiko bencana. Salah satu upaya penting yang harus dilakukan melalui terbentuknya komunitas ini adalah melibatkan perempuan secara langsung ke dalam simulasi bencana. KPSB dapat menjadi sarana efektif untuk memasifkan agenda simulasi-simulasi bencana yang melibatkan perempuan dan anak.   
Dalam pengambilan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, KPSB dapat dijadikan sebagai wadah maupun media perempuan dalam  melakukan penanggulangan bencana. Karena hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh perempuan saat bencana terjadi hanya perempuanlah yang paling tahu, dalam menentukan kebutuhannya.
Dengan terbentuknya KPSB tersebut dipastikan akan berdampak positif dalam mengurangi jatuhnya korban saat bencana, karena masyarakat sudah mendapatkan pendidikan dasar standar penyelamatan saat bencana terjadi. KPSB tersebut bisa terus dilakukan tanpa harus membutuhkan dana besar, pemerintah hanya memfasilitasi sumberdaya yang memiliki fungsi transfer ilmu pengetahuan menyangkut mitigasi bencana kepada putra-putri komunal tersebut. Manfaat lain yang diperoleh adalah  dapat membuat mekanisme dan rute penyelamatan saat bencana tiba dan pencegahannya, KPSB kemudian bisa juga  berfungsi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai pada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan seperti mengurangi pemakaian alat-alat yang berakibat pada pemanasan global, menjaga kebersihan alam sekitar dan juga kesadaran untuk melestarikan alam baik melalui kesadaran menanam pohon maupun menjaga keseimbangan alam. Nilai-nilai local wisdom inilah yang harus ditanam dalam jiwa masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya. Bencana bukan hanya mengancam penduduk pesisir yang dekat laut, namun juga mengancam penduduk yang berada di pegunungan saat terjadi perambahan hutan. Seperti peristiwa di Blang pandak, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie satu tahun lalu. Banjir bandang yang melanda Kecamatan yang dikenal subur ini telah memporak-porandakan beberapa desa dengan kerugian material miliaran rupiah, bahkan memakan korban jiwa, menghilangkan lapangan pekerjaan dan menghancurkan tempat tinggal.
Didalam komunal tersebut, banyak manfaat yang dapat didiskusikan, baik menyangkut bencana, kesehatan ibu dan anak serta berbagai hal lainnya. Wadah ini juga dapat  menjadi media silaturrahmi antar warga yang akhirnya menciptakan ketentraman di desa tersebut.
Peran Komunal Perempuan Siaga Bencana  (KPSB)  menjadi wadah konsolidasi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dasar siaga bencana yang dikemas  dalam “Indigenous Knowledge” (pengetahuan lokal) apa yang harus di lakukan saat bencana tiba. Melalui pola arisan misalnya, KPSB dapat menciptakan pengetahuan lokal  untuk mencegah jatuhnya korban saat bencana. Hal ini terbukti di Kabupaten Simeuleu, hanya korban sebanyak 7 orang saat tsunami melanda Aceh, karena di tengah-tengah masyarakat simeuleu sudah ada pengetahuan lokal menyangkut dengan kesiagaan bencana. Sosialisasi bencana juga dapat dilakukan melalui kebiasaan yang kemudian berkembang menjadi tradisi/ budaya di tengah masyarakat untuk bercerita kepada anaknya melalui hikayat atau cerita rakyat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar