Indonesia merupakan
negara kepulauaan.
Letak geografis Indonesia
sebagai negara kepulauan yang berada antara dua benua dan dua samudera
terbentang di garis khattulistiwa serta pada pertemuan tiga lempeng utama dunia
merupakan wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana (Kirmanto, 2002). Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis (UU No.24/2007). Bencana tersebut seperti badai tropis,
banjir, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, longsor, dan kekeringan serta kebakaran hutan.
Peristiwa
tersebut diperlukan penanggulangan dengan berupaya memperkecil jumlah korban
jiwa dan kerugian harta benda akibat bencana alam. Hal ini dapat menggunakan
pengetahuan local untuk dapat diteruskan ke generasi selanjutnya sebagai kearifan
local. Kearifan lokal rakyat Aceh terkait
masalah kebencanaan, lingkungan, sosial, dan budaya, sebagian besar telah
hilang bersama terkuburnya teks-teks kuno. Teks itu di tuliskan oleh ulama dan
kaum intelektual Aceh. Kini naskah-naskah kuno itu tak lagi dilestarikan dan
dipedulikan, sehingga generasi masa kini seperti kehilangan pegangan mengenai
apa saja sebenarnya kearifan lokal Aceh. Kearifan lokal mengenai kesiagaan
bencana yang sebenarnya sudah berkembang pada masa, khususnya menghadapi gempa
dan tsunami. hal tersebut ditulis oleh seorang ulama abad ke-18 dengan tuntunan
agar melihat gejala alam dengan baik sebagai pesan kearifan menghadapi bencana.
Dalam kitab Tajjul Muluk, disebutkan bahwa setelah terjadi gempa besar,
biasanya akan diikuti dengan banyak burung-burung dan hewan-hewan dari laut
yang bergerak ke darat. Tak ada tiupan angin dan suasana senyap. Itulah
tanda-tanda tsunami akan terjadi. Sayangnya, pengetahuan tradisi seperti ini
sudah tak diketahui generasi masa kini sehingga gempa dan tsunami Aceh membawa
korban jiwa yang besar.
Jenis kearifan lokal lain yang juga
termaktub dalam kitab Tajjul Muluk, yang bertutur mengenai tuntunan sejarah,
perbintangan, pengobatan, larang menebang hutan, dan bahkan hukum. Larangan
menebang hutan, misalnya orang Aceh tidak boleh menebang sebelum sebuah pohon
sudah mengugurkan dahannya, yang artinya pohon tersebut sudah berusia tua.
Kearifan local seperti ini tak lagi dipahami generasi muda sehingga kini hutan
Aceh sudah rusak. Tradisi literasi nilai-nilai lokal ini tak berlanjut pada
penyalinan ulang teks. Setelah masa Kerajaan Aceh runtuh, tradisi pun hancur.
Bahkan, teks-teks hikayat kuno banyak yang hilang dan terlupakan. Aceh tidak
lagi memiliki sumber-sumber sejarah dan tradisi yang kuat. Keadaan ini sangat
memprihatinkan, sehingga di perlukan mengumpulkan kembali kearifan local
masyakat Aceh (SAMAI UI, 2011).
Kearifan local masyarakat Aceh dapat
dilihat dari bangunan rumah yang khas ‘Rumoh Aceh’. Rumoh Aceh yang bentuknya itu berupa rumah
panggung. Salah satu alasan atau manfaat dari rumah berbentuk panggung ini
sebenarnya adalah untuk mengantisipasi saat terjadinya banjir. Fungsi lainnya
agar terhindar dari serangan binatang buas semacam harimau. Selain itu Aceh
merupakan daerah yang mempunyai cukup banyak sungai baik besar maupun kecil.
Sehingga di zaman kesultanan dulu, sungai ini dijadikan sebagai alat
transportasi, maka rumah-rumah yang dibangun pun secara sendirinya berdekatan
dengan sungai. Sesuai prinsip sungai itu sendiri, adakala airnya banyak dan
sedikit, atau dalam bahasa hidrotekniknya adalah debitnya itu berbeda-beda.
Adakalanya debit menjadi sangat besar karena pengaruh hujan yang terjadi
intensitasnya tinggi sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Kejadian alam
semacam ini sebenarnya sudah merupakan kerutinan. Oleh karena itu, masyarakat
Aceh zaman dahulu membangun ‘Rumoh Aceh’. Rumoh Aceh ini tersendiri
menjadi aman terhadap banjir, jadi barang-barang yang ada di dalamnya bisa
selamat saat banjir terjadi .
Pada saat
sekarang Rumoh Aceh ternyata merupakan konstruksi yang tahan gempa juga. Dan
belajar dari kejadian tsunami yang menimpa Aceh tanggal 26 Desember 2004,
konstruksi jenis ini cukup bekerja, apalagi dengan sedikit inovasi tambahan.
Salah satu bentuknya adalah membangun rumah beton yang berbentuk Rumah
panggung. Rumah-rumah seperti ini dapat kita jumpai di sekitar kawasan Ulee
Lheue Kota Banda Aceh. Berlanjut terhadap rancanagan kadang hewan periharaan
dua tingkat: kadang itik (bebek) bawah dan kandang ayam di tingkat dua. Hal
tersebut merupakan antisipasi bila banjir datang tiba-tiba di waktu malam tidak
perlu kuwatir lagi, karena bebek dapat berenang sedangkan ayam yang diatasnya
aman. Selain itu pengalaman membuktikan bahwa hewan dapat mendeteksi dini
bencana alam. Seperti: ikan lele memiliki sensitifitas tinggi terhadap
pergerakan tanah termasuk gempa. Bila suatu getaran dalam tanah terjadi dan
membentuk gempa, maka lele-lele akan berkecipuk aktif dan mengibas-ibaskan air
sebelum datangnya gempa.
Bila tempat
tinggal dekat dengan sungai atau danau, capung sering terbang ke sekeliling
rumah dan berkelompok. Bila tiba-tiba mareka terbang sekeliling area tempat
tinggal masyarakat jumlah banyak atau sangat banyak, maka menandakan akan
terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir. Di samping itu juga semut
biasanya mencari tempat yang tinggi, maka menandakan akan terjadi hujan lebat
atau banjir. Tanda lainnya apabila mekarnya bunga angsana, biasanya akan
terjadi hujan lebat.
Bagi masyarakat
Aceh, adat merupakan sebuah kearifan yang harus dijaga, dilestarikan, dan
diterapkan sebagai bagian dari norma kehidupan. Tingginya nilai-nilai adat
dalam masyarakat Aceh tercermin pula dalam bercocok tanam. Petani di Aceh, dalam bercocok tanam juga memiliki
tahapan-tahapan sendiri yang disesuaikan dengan kalender Aceh yang disebut keuneunong
atau keunong. Dalam melaksanakan pertanian di sawah atau dikenal dengan
sebutan meugo blang, ada petuah orang Aceh (hadih maja) yang
berbunyi; Keunong siblah tabu jareung,
keunong sikureung tabu rata, keunong tujoh pih jeut mantong, keunong limong
ulat seuba. Petuah (Hadih maja) ini bercerita tentang kapan mulai
menabur benih dan kapan harusnya tidak dilakukan. Petani di Aceh cukup paham
dengan petuah ini. Dalam pembukaan lahan untuk bercocok tanam, di Aceh
terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman
dahulu. Aturan-aturan tersebut seperti tata cara penebangan kayu hutan yang
tidak boleh menebang kayu-kayu besar yang menjadi tempat bersarang lebah. Hal
ini sudah menjadi pantangan umum yang apabila dilanggar dapat merugikan orang
banyak.
Kearifan lokal di Aceh juga terdapat dalam
larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200
meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100
meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai
(alue). Semua aturan ini sudah menjadi ketetapan lembaga adat suatu daerah,
demi menjaga keberlangsungan hidup alam dan masyarakat di daerah tersebut. Jika
aturan-aturan ini dilanggar, Pawang Hutan (pawang uteuen) sebagai
instansi adat berhak menjatuhkan sanksi kepada si pelanggar karena imbasnya
akan menimpa masyarakat banyak, misalnya banjir dan turunnya binatang buas ke
pemukiman penduduk. Selain itu peran Panglima Laut (Panglima Laot) : orang/ ketua adat yang memimpin
urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut/ sengketa laot.
Kearifan local
ini juga dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini (Early Warning Sistem) merupakan suatu sistem untuk memberitahukan akan terjadi kejadian
alam, baik bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Sistem peringatan dini ini
menunjukkan bagian yang penting dari mekanisme kesiapsiagaan masyarakat sebagai
upaya memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat
malaui sirine, kentongan dan lain sebagainya. Menyembunyikan sirine salah satu
dari cara penyampaian informasi yang perlu dilakukan sehingga informasi kemasyarakat
lebih cepat diterima. Bertujuan agar masyarakat dapat merespon informasi
tersebut dengan cepat dan tepat. Kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat
diperlukan karena waktu yang sempit dari saat dikeluarkannya informasi dengan
saat (dugaan) datangnya bencana. Kondisi kritis, waktu sempit, bencana besar
dan penyelamatan penduduk merupakan faktor-faktor yang membutuhkan
peringatan dini. Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu
bagi penduduk untuk meresponnya.
Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya
merupakan muara dari suatu alur proses analisis data-data mentah tentang sumber
bencana dan sintesis dari berbagai pertimbangan. Ketepatan informasi hanya dapat
dicapai apabila kualitas analisis dan sintesis yang menuju pada keluarnya
informasi mempunyai ketepatan yang tinggi. Dengan demikian dalam hal ini
terdapat dua bagian utama dalam peringatan dini yaitu bagian hulu yang berupa
usaha-usaha untuk mengemas data-data menjadi informasi yang tepat dan menjadi
hilir yang berupa usaha agar infomasi cepat sampai di masyarakat.
Sistem peringatan dini dalam menghadapi
bencana sangatlah penting, mengingat secara geologis dan klimatologis wilayah
Indonesia termasuk daerah rawan bencana alam terlambat membuat resah masyarakat
sehingga penggunaan pengetahuan local lebih efektif terhadap masyarakat di
pedasaan, karena akan dapat dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah
atau paling tidak mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat.
Keterlambatan dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin
besar bagi masyarakat. Dalam siklus manajemen penanggulangan bencana, sistem
peringatan dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap kesiagaan,
sistem peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun
instrumentasinya.
Sistem peringatan dini dengan menggunakan
kearifan local disebut juga sistem peringatan dini secara konvensional. Hal ini
pengenalan bencana dilakukan dengan pengenalan terhadap gejala-gejala alam yang
muncul sebelum terjadinya bencana, yang disesuaikan dengan karakteristik
bencananya.
Kejadian gempa 26
Desember 2004 dengan kekuatan 8,9 skala Richter diikuti dengan
gelombang tsunami mengisyaratkan bahwa upaya penanggulangan bencana dan
kesiapsiagaan belum dilakukan dengan baik. Dampak bencana yang dirasakan juga semakin parah,
disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk
diantaranya meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di daerah yang rentan
bahaya, rendahnya tingkat kesiapsiagaan
dan upaya penanggulangan bencana di tingkat pemerintahan serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam
mempersiapkan diri menghadapi bencana. Pengalaman sebelumnya terlihat daerah
yang paling banyak menelan korban adalah daerah yang masyarakatnya tidak
mempunyai pengetahuan tentang tsunami yang pada dasarnya sudah pernah terjadi.
Hal tersebut menunjukkan
pentingnya sistem peringatan dini sebagai upaya penanggulangan bencana kebencanaan bagi masyarakat, khusus dengan
menggunakan pengetahuan local masyarakat setempat.
Selama ini peristiwa bencana alam telah menimbulkan
banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang cukup parah. Selain itu masyarakat belum memiliki kesiapan menghadapi bencana
alam yang seringkali datang secara tiba-tiba. Sebaliknya di Simeulu jumlah
korban tercatat relatif sangat kecil 7 orang, hal ini disebabkan mereka telah
lebih awal mendapatkan pengetahuan untuk menyelamatkan diri dari bencana alam
(Fakri, 2006).
Kejadian gempa besar yang pernah terjadi di Indonesia
beberapa tahun terakhir, mengisyaratkan bahwa perlunya upaya penanggulangan bencana dan kesiapsiagaan belum dilakukan dengan baik. Hal ini
mengakibatkan dampak dari korban masih tinggi sehingga sebahagian besar masyarakat masih kurang perduli terhadap
upaya-upaya penjegahan
sebelum kejadian bencana. Akhirnya kejadian bencana ini
menimbulkan kekacauan dan kepanikan di masyarakat. Coburn (1994) mengebutkan perlu melakukan upaya penanggulangan bencana baik secara struktural maupun non
struktral serta kesiapsiagaan yang tangguh dalam menghadapi bencana
Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana menjelaskan pengurangan resiko bencana (penanggulangan bencana dan
kesiapsiagaan) adalah sangat penting untuk membangun kembali lebih baik, pemulihan
akan berkelanjutan dan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana dapat diminimalkan. Fakta sejarah dan bukti empiris
membuktikan bahwa
banyak peristiwa bencana
alam berulang dan sering secara periodik pada wilayah tertentu, dan sulit memprediksi waktu dan skala intensitas
suatu kejadian dengan tepat di masa depan, sehingga penanggulangan
bencana bencana, kesiapsiagaan aparat dan masyarakat , early warning sistem
(sistem peringatan dini), perencanaan tanggap darurat sangat diperlukan untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan (Yulianto,
2006).
Sistem peringatan
dini menjadi bagian penting dari mekanisme kesiapsiagaan masyarakat, karena peringatan
dapat menjadi faktor kunci penting yang menghubungkan antara tahap
kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Secara teoritis bila peringatan dini
disampaikan tepat waktu, maka suatu peristiwa yang dapat menimbulkan bencana
dahsyat dapat diperkecil dampak negatifnya. (Anynomous, 2006).
Sumber informasi
dari mekanisme peringatan bencana dapat berasal dari tempat kejadian peristiwa
pertama dan tempat terjadinya situasi krisis. Kadang-kadang sumber ini bersifat
dorman-tidak aktif dan memerlukan satu tindakan agar dapat menghasilkan
informasi bencana secara aktif. Tanda peringatan dapat muncul dari sumber
biasa, seperti masyarakat di tempat kejadian (missal orang yang melihat air
surut setelah gempa kuat sebagai tanda awal), atau dari sumber-sumber khusus yang
berwenang, missal dari sistem peringatan dini melalui pejabat/kantor yang
disepakati mempunyai wewenang (polisi, BMG, Pengamat Gunung Api, pengamat banjir dan sebagainya), atau dari citra
satelit-foto udara dan sebagainya.
Tahapan tanda peringatan ini mengaktifkan mekanisme sistem peringatan
bencana.
Di dalam sistem
ini, proses transmisi pesan dapat terjadi melalui mekanisme dari mulut ke
mulut/pesan lisan, atau menggunakan alat-alat tradisional seperti
kentongan-lonceng-bendung dan sebagainya. Juga peralatan komunikasi lain
seperti telepon/telx/fax/sms/mms dan sebagainya, atau pesan melalui jaringan
internet. Radio siaran/TV, kemudian jaringna radio amatir/RAPI/HT/SSB dsb dapat
melakukan fungsi tranmisi pesan. Tanda alarm seperti sirene yang sudah disepakati
bersama dapat menjadi alat penyampai pesan yang efektif.
Penerimaan dan
pencatatan pesan dalam sistem ini memegang peranan penting, antara lain oleh
pusat informasi: seperti Pusat Pengendalian Operasi Darurat, dan Posko-posko
yang disepakati. Pusat informasi harus punya kemampuan mengolah dan menyimpan
informasi serta menyampaikan (display/tampilan) informasi. Hal ini penting
untuk memastikan adanya pencacatan informasi peringatan. Informasi dapat
disampaikan dalam bentuk peta/gambar, papan pengumuman, proyeksi visual (TV,
layar umum dan lainnya), baliho dan sebagainya. Proses kajian informasi
merupakan fase pemanfaatan informasi. Kajian ini dapat dilakukan oleh
individual berdasarkan masukan dari staffnya dan bila dilakukan oleh
pemerintah, biasanya melalui suatu pertemuan khusus.
Proses pengambilan
keputusan merupakan suatu phase kritis yang mengubah informasi jadi tindakan
nyata. Kegiatan ini dilakukan oleh individual/perseorangan yang bertanggung
jawab penuh atas tindakannya, atau oleh
seseorang yang memegang tanggung jawab tertentu atas konsultasi dengan staf
atau penasihat ahlinya. Tindakan yang dilakukan berupa lanjut dari keputusan
yang diambil dalam bentuk serangkaian tindakan, baik dinamik maupun statik.
Contoh tindakan dinamik: survey, SAR, evakuasi, mobilisasi sumber daya,
peringatan/intruksi untuk masyarakat, sedangkan tindakan statik bisa berupa
menunggu informasi lebih lanjut/stand-by, atau tidak perlu mengambil tindakan
apa-apa.
Dengan sendirinya
masyarakat sangat berperan dalam efektifitas sistem peringatan dini ini. Peran
ini tercermin dari kesadaran atu kepedulian masyarakat serta pemahaman terhadap
sistem peringatan, antisipatif, prosedur evakuasi dan sebagainya). Harus
diperhatikan juga bahwa terlalu banyak peringatan yang salah (false alarm)
dapat mengakibatkan kejenuhan atas peringatan yang terus menerus, sehingga
akhirnya sistem peringatan menjadi tidak efektif lagi. Sistem peringatan dini
juga tidak selalu efektif untuk semua jenis ancaman bahaya. Beberapa jenis
bahaya bahkan tidak mempunyai peringatan dini, seperti bahaya gempa. Beberapa
jenis bahaya atau ancaman bencana dikaitkan frekuensi kejadiannya dan kemampuan
untuk memberikan peringatan dini.
Dengan demikian
pengembangan sistem peringatan bencana perlu diperhatikan secara realistis
jenis-jenis ancaman bencana yang bisa memberian peringatan dini. Juga perlu
memperhatikan bahwa untuk beberapa jenis ancaman bencana yang memiliki
frekuensi kejadian yang sangat rendah dalam sistem peringatan dininya akan
memiliki permasalahan bagaimana menjaga dan memelihara sistem peringatan
tersebut dalam jangka waktu yang sangat panjang agar dapat selalu berfungsi
secara andal. Untuk itu diperlukan kajian yang sangat mendalam, terutama dalam
memberikan prioritas bagi pebangunan sistem peringatan bencana yang membutuhkan
biaya investasi yang sangat besar serta membutuhkan tingkat pemeliharaan yang
tinggi untuk menjamin keandalannya.
Dalam upaya penanggulangan
bencana bencana, kearifan lokal sangat layak untuk dikaji kembali, digali dan
dikembangkan dalam kehidupan masyarakat sebagai salah satu upaya pengurangan
risiko bencana yang efektif. Kearifan lokal yang pada mulanya tentu saja
dikembangkan oleh masyarakat setempat, demi masyarakat dan untuk masyarakat
maka tidak perlu banyak penyesuaian dan sosialiasi dalam implementasinya ke
depan. Masyarakat
setempat lebih memahami, yang diperlukan adalah bagaimana kearifan tersebut
dapat dimanfaatkan secara global, dalam arti kata memperluas manfaat dan
‘pesan’ yang disampaikan dapat tersampaikan.
Sumber:
Anynomous. 2006. Kerangka Kebijakan Pengurangan Resiko Bencana. BRR NAD-Nias.
Coburn, A.W. 1994. Mitigasi Bencana. UNDP,DHA,
edisi kedua.
Fakhri. 2006. Esensi Dakwah Dalam manajemen Penanggulangan Bencana Alam. Jakarta: Al-Bayan, Vol. 12
No. 13.
Kirmanto D. 2002. Kebijakan Penanggulangan Bencana. Bandung: Pulitkim.
SAMAN UI. Update 2011. Kearifan
Lokal Aceh Terkubur. samaui.wordpess.com.
Undang-undang
Republik Indonesia, nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Yulianto, E. 2006. Sistem Peringatan Dini, Pikiran Rakyat 13 September 2006.
ana menyitir beberapa paragraf tulisan anti dengan tetap menuliskan footnote bahwa itu tulisan anti.
BalasHapusizinkan ana.
ya ambil aja. udah ana izinkan
Hapus