Peristiwa tersebut diperlukan mitigasi bencana berupaya memperkecil
jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda akibat bencana alam. Hal ini
dapat menggunakan pengetahuan local untuk dapat diteruskan ke generasi
selanjutnya sebagai kearifan local. Kearifan
lokal rakyat Aceh terkait masalah kebencanaan, lingkungan, sosial, dan
budaya, sebagian besar telah hilang bersama terkuburnya teks-teks kuno.
Teks itu di tuliskan oleh ulama dan kaum intelektual Aceh terkait
kearifan-kearifan lokal. Kini disayangkan, naskah-naskah kuno itu tak
lagi dilestarikan dan dipedulikan sehingga generasi masa kini seperti
kehilangan pegangan mengenai apa saja sebenarnya kearifan lokal Aceh.
Kearifan lokal yang sebenarnya sudah berkembang pada masa sebelum abad
ke-20 adalah mengenai kesiagaan bencana, khususnya menghadapi gempa dan
tsunami. hal tersebut ditulis oleh seorang ulama abad ke-18 dalam kitab
tasawuf: tuntunan agar melihat gejala alam dengan baik sebagai pesan
kearifan menghadapi bencana. Dalam tersebut, menyebutkan bahwa setelah
terjadi gempa besar, biasanya akan diikuti dengan banyak burung-burung
dan hewan-hewan dari laut yang bergerak ke darat. Tak ada tiupan angin
dan suasana senyap. Itulah tanda-tanda tsunami akan terjadi. Sayangnya,
pengetahuan tradisi seperti ini sudah tak diketahui generasi masa kini
sehingga gempa dan tsunami Aceh membawa korban jiwa yang besar.Jenis
kearifan lokal lain yang juga termaktub dalam kitab Tajjul Muluk, yang
bertutur mengenai tuntunan sejarah, perbintangan, pengobatan, larang
menebang hutan, dan bahkan hukum. Larangan menebang hutan, misalnya
orang Aceh tidak boleh menebang sebelum sebuah pohon sudah mengugurkan
dahannya, yang artinya pohon tersebut sudah berusia tua. Kearifan
seperti ini tak lagi dipahami generasi muda sehingga kini hutan Aceh
sudah rusak. Tradisi literasi nilai-nilai lokal ini tak berlanjut pada
penyalinan ulang teks. Setelah masa Kerajaan Aceh runtuh, tradisi pun
hancur. Bahkan, teks-teks hikayat kuno banyak yang hilang dan
terlupakan. Aceh tidak lagi memiliki sumber-sumber sejarah dan tradisi
yang kuat. Keadaan ini sangat memprihatinkan, sehingga di perlukan
mengumpulkan kembali kearifan local masyakat Aceh (SAMAI UI, 2011).
Kearifan local masyarakat Aceh dapat dilihat dari bangunan rumah yang khas ‘Rumoh Aceh’. Rumoh Aceh
yang bentuknya itu berupa rumah panggung. Salah satu alasan atau
manfaat dari rumah berbentuk panggung ini sebenarnya adalah untuk
mengantisipasi saat terjadinya banjir. Fungsi lainnya agar terhindar
dari serangan binatang buas semacam harimau.
Selain itu Aceh merupakan daerah yang mempunyai cukup banyak sungai
baik besar maupun kecil. Sehingga di zaman kesultanan dulu, sungai ini
dijadikan sebagai alat transportasi, maka rumah-rumah yang dibangun pun
secara sendirinya berdekatan dengan sungai. Sesuai prinsip sungai itu
sendiri, adakala airnya banyak dan sedikit, atau dalam bahasa
hidrotekniknya adalah debitnya itu berbeda-beda. Adakalanya debit
menjadi sangat besar karena pengaruh hujan yang terjadi intensitasnya
tinggi sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Kejadian alam semacam ini
sebenarnya sudah merupakan kerutinan. Oleh karena itu, masyarakat Aceh
zaman dahulu membangun ‘Rumoh Aceh’. Rumoh Aceh ini tersendiri
menjadi aman terhadap banjir, jadi barang-barang yang ada di dalamnya
bisa selamat saat banjir terjadi .
Pada saat sekarang Rumoh Aceh ternyata merupakan konstruksi yang tahan
gempa juga. Dan belajar dari kejadian tsunami yang menimpa Aceh tanggal
26 Desember 2004, konstruksi jenis ini cukup bekerja, apalagi dengan
sedikit inovasi tambahan. Salah satu bentuknya adalah membangun rumah
beton yang berbentuk Rumah panggung. Rumah-rumah seperti ini dapat kita
jumpai di sekitar kawasan Ulee Lheue Kota Banda Aceh.
Berlanjut terhadap rancanagan kadang hewan periharaan dua tingkat:
kadang itik (bebek) bawah dan kandang ayam di tingkat dua. Hal tersebut
merupakan antisipasi bila banjir datang tiba-tiba di waktu malam tidak
perlu kuwatir lagi, karena bebek dapat berenang sedangkan ayam yang
diatasnya aman.
Selain itu pengalaman membuktikan bahwa hewan dapat mendeteksi dini
bencana alam. Seperti: ikan lele memiliki sensitifitas tinggi terhadap
pergerakan tanah termasuk gempa. Bila suatu getaran dalam tanah terjadi
dan membentuk gempa, maka lele-lele akan berkecipuk aktif dan
mengibas-ibaskan air sebelum datangnya gempa
Bila tempat tinggal dekat dengan sungai atau danau, capung sering
terbang ke sekeliling rumah dan berkelompok. Bila tiba-tiba mareka
terbang sekeliling area tempat tinggal masyarakat jumlah banyak atau
sangat banyak, maka menandakan akan terjadi hujan lebat yang
mengakibatkan banjir. Di samping itu juga semut biasanya mencari tempat
yang tinggi, maka menandakan akan terjadi hujan lebat atau banjir. Tanda
lainnya apabila mekarnya bunga angsana, biasanya akan terjadi hujan
lebat
Bagi masyarakat Aceh,
adat merupakan sebuah kearifan yang harus dijaga, dilestarikan, dan
diterapkan sebagai bagian dari norma kehidupan. Tingginya nilai-nilai
adat dalam masyarakat Aceh tercermin pula dalam bercocok tanam. Misalnya dalam pembukaan lahan untuk bercocok tanam, di Aceh terdapat
sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu.
Aturan-aturan tersebut seperti tata cara penebangan kayu hutan yang
tidak boleh menebang kayu-kayu besar yang menjadi tempat bersarang
lebah. Hal ini sudah menjadi pantangan umum yang apabila dilanggar dapat
merugikan orang banyak. Petani di Aceh, dalam bercocok tanam juga
memiliki tahapan-tahapan sendiri yang disesuaikan dengan kalender Aceh
yang disebut keuneunong atau keunong. Dalam melaksanakan pertanian di sawah atau dikenal dengan sebutan meugo blang, ada petuah orang Aceh (hadih maja) yang berbunyi; Keunong siblah tabu jareung, keunong sikureung tabu rata, keunong tujoh pih jeut mantong, keunong limong ulat seuba. Petuah (Hadih maja)
ini bercerita tentang kapan mulai menabur benih dan kapan harusnya
tidak dilakukan. Petani di Aceh cukup paham dengan petuah ini
Kearifan lokal di Aceh juga
terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter
dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada
daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50
meter dari tepi anak sungai (alue). Semua aturan ini sudah menjadi
ketetapan lembaga adat suatu daerah, demi menjaga keberlangsungan hidup
alam dan masyarakat di daerah tersebut. Jika aturan-aturan ini
dilanggar, Pawang Hutan (pawang uteuen) sebagai instansi adat
berhak menjatuhkan sanksi kepada si pelanggar karena imbasnya akan
menimpa masyarakat banyak, misalnya banjir dan turunnya binatang buas ke
pemukiman penduduk.
Panglima Laut (Panglima Laot) : orang/ ketua adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut/ sengketa laot.
Peran
Ulama dalam pencegahan bencana juga menjadi nilai lebih di Aceh. Fatwa
Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) misalnya; siapapun yang melakukan
perusakan alam/ hutan merupakan pekerjaan yang berdosa, karena banyak
kemudharatan di kemudian hari. Kebijakan ini melalui fatwa ulama menjadi
sesuatu yang sangat bermanfaat untuk melakukan pencegahan bencana
terjadi. Ini juga bagian dari Local Wisdom yang patut dipergunakan untuk
pencegahan bencana terjadi, terutama bencana yang akibat dari ulah
tangan manusia sendiri.
Sumber :
Kirmanto D, ”Kebijakan Penanggulangan Bencana”, Pulitkim, Bandung, 2002.
SAMAN UI, “Kearifan Lokal Aceh Terkubur”, samaui.wordpess.com, Update 2011.
Undang-undang Republik Indonesia, nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar